Semarang (30/7). DPW LDII Jawa Tengah menyelenggarakan “Silaturahim Kebangsaan Jilid V” di Kota Semarang, pada Sabtu (26/7). Berbagai tokoh dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum, legislatif, hingga organisasi keagamaan turut hadir dalam acara tersebut.
Gubernur Jawa Tengah, Komjen Pol (Purn) Ahmad Luthfi menggarisbawahi pentingnya etos budaya lokal dalam membangun masyarakat yang toleran. Ia menyebut nilai “ngopeni lan nglakoni”—atau memelihara dan menjalankan tanggung jawab sosial—sebagai fondasi penting dalam mewujudkan masyarakat inklusif, “Kebangsaan tidak cukup dibangun hanya lewat instrumen negara. Ia tumbuh lewat laku sosial yang memperkuat solidaritas dan toleransi,” tegas Luthfi.
Senada dengan itu, Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Ribut Hari Wibowo menyatakan silaturahim harus dilihat sebagai modal sosial yang strategis, dalam menciptakan keamanan kolektif. “Konsep community policing membutuhkan hubungan sejajar antara aparat dan masyarakat. Ini menciptakan rasa aman berbasis kepercayaan dan partisipasi,” ujarnya.
Dari aspek hukum, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Hendro Dewanto menekankan bahwa supremasi hukum harus menjadi penyangga utama dalam menjaga integrasi bangsa. “Hukum yang adil, independen, dan bebas dari tekanan politik adalah syarat mutlak agar pluralitas dalam masyarakat demokratis bisa bertahan,” katanya.

Sementara itu, anggota DPR RI Firmando Hadityo Ganinduto menyampaikan bahwa koneksi sosial-emosional antara negara dan rakyat menjadi kunci dalam membangun kepercayaan politik. “Merawat tali silaturahim bukan sekadar kultural, tapi menjadi kekuatan vertikal yang memperkuat demokrasi deliberatif,” kata Firmando.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jawa Tengah sekaligus pengurus MUI Jawa Tengah, Iskandar Chang I Po, menyoroti peran strategis institusi keulamaan dalam menjaga keutuhan bangsa. Ia menyebut bahwa di tengah derasnya arus globalisasi nilai dan tantangan politik identitas, lembaga keagamaan harus hadir sebagai otoritas moral. “Ulama perlu mengedepankan pendekatan moderat dan inklusif agar masyarakat tidak terjebak dalam fragmentasi sosial maupun politisasi agama yang destruktif,” jelasnya.